Kamis, 06 November 2014

PAROPO : Ilustrasi kampung budaya

Ilustrasi kampung budaya
Paropo Makassar Diusulkan Jadi Kampung Budaya
"Ditunjuknya Kelurahan Paropo sebagai kampung budaya tidak sebatas rekayasa destinasi pariwisata. Melainkan nilai budaya warga daerah itu harus terbentuk sesuai adat istiadat masyarakatnya sendiri,"

Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang, Makassar,Sulawesi Selatan, diusulkan ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi kampung budaya guna mendukung program pengembangan 900 desa dan kampung wisata 2012 mendatang.

"Ditunjuknya Kelurahan Paropo sebagai kampung budaya tidak sebatas rekayasa destinasi pariwisata. Melainkan nilai budaya warga daerah itu harus terbentuk sesuai adat istiadat masyarakatnya sendiri," kata Akademisi Universitas Negeri Makassar (UNM) Ahyar Anwar di Makassar, Kamis (3/11).

"Jangan sampai masyarakat membuat atraksi budaya hanya untuk kepentingan wisatawan saja, sehingga bertanya tentang budaya daerah itu, warganya sendiri tidak tahu," lanjutnya.

Menurut dia, budaya yang bersifat alami lebih memiliki nilai ketimbang terbentuk dari sebuah rekayasa untuk menarik kunjungan wisatawan.

Meski begitu, Ahyar mengakui, untuk membentuk budaya secara alami memakan proses cukup lama. Namun, tambahnya, nilai budaya alami jauh lebih menguntungkan. Apalagi, masyarakat juga bisa menjaga dan melestarikan budaya turun temurunnya.

Hal senada dikatakan Akademisi Akpar Makassar, Dr. Faried Said. Menurutnya, budaya yang terbentuk dari lingkungan masyarakat memiliki nilai jual besar bagi wisatawan.

"Ini sebuah produk yang cukup diminati para wisatawan asing," ucap dia.

Hanya saja, dia mengingatkan agar kampung budaya bisa membangun sebuah ikon yang betul-betul menarik. Sehingga kalangan industri bisa menjual objek itu sebagai paket wisata yang menarik.

Warga Paropo Lestarikan Budaya Tari Api.

Metrotvnews.com, Makassar: Sekelompok orang memainkan alat musik tradisional di Paropo, Makassar, Sulawesi Selatan. Sedangkan sekelompok lain mengayun-ayunkan obor yang menyala di tubuh mereka. Uniknya, tubuh dan pakaian orang-orang tersebut tak terbakar.

Itulah pertunjukan tari Pepe' Ka Ri Makka khas warga kampung Paroppo. Hentakan gendang, rebana, gong, yang berpadu dengan gesekan biola membuat pertunjukan kian meriah. Senandung lagu pun menyemarakkan pertunjukan tersebut.

"Itu tari suci. Tak ada magic," kata Daeng Aca'
, pemimpin kelompok seni tradisional Ilologading yang mempertunjukkan kesenian tersebut kepada Metro TV.

Ia menuturkan pepe' ka ri makka berarti api dari tanah suci Mekah. Saat kerajaan Gowa masih berkuasa, obor merupakan pelengkap menyambut hari lebaran. Tapi kini, obor menjadi sebuah pertunjukan dalam pesta rakyat, acara pernikahan, sunatan, dan hiburan di malam bulan purnama.

Tak semua orang, katanya, bisa melakukan atraksi tersebut. Bila berdosa, si penari akan merasa panas saat menyentuhkan api di tubuhnya. Bajunya pun akan terbakar. Di Paropo, hanya tiga sanggar seni yang kerap mempertunjukkan kesenian tersebut.

Daeng Acca mengaku pernah melakukan pertunjukan serupa di Malaysia dan Korea Selatan. Ia pun merekrut anak-anak muda di kampungnya untuk mewariskan kebudayaan tersebut. Ia berharap pemerintah pun turut andil agar kesenian tradisional itu tak punah.(RRN)


Paropo

Potensi Makassar ada di KAMPUNG PAROPO penduduk ASLI MAKASSAR, di sana ada : 
1. kesenian tradisional : Tari pepe'-pepeka ri Makkah, tari si'ru, tari Ganrangbulo, teater tradisional Kondo Buleng 
2. Hutan Pandang, dan penghasil ketupat terbesar setiap harinya di Kota Makassar yang menyuplai anangang Katupa' ke warung-warung Coto di Kota MAkassar. 
3. Suku Asli Makassar, dengan bahasa Percakapan Asli Makassar, masih menggunakan bahasa IBU.
4. Pesan-pesan Orang Dulu masih dilestarikan dalam bentuk syair-syair dan nyanyian...sebagai kenangan akan pribadi orang Makassar asli.
5. tradisi-tradisi masih ada yang dilestarikan ,walau sudah banyak yang ditinggalkan , di antara tradisi orang Mangkasara' (Makassar) : Songka Bala'...tradisi attoweng (towengi bambo)
6.ada Baruga Pertemuan Warga..tempat bermusyawarah...
7.warga Paropo yang masih SERUMPUN antara satu dan yang lainnya, kalau bukan saudara, sepupu, atau pindu. purina
8. tradisi menyapu halaman Rumah setiap hari masih dilaksanakan oleh ibu-ibu. termasuk menyapu jalanan aspal depan rumahnya.
9. kekompakan/kerumunan dalam hal tertentu masihi ada.
10.terdapat MAKAM To BOKKA' kuburan keramat yang sering dikunjungi untuk mencari keberkahan kesembuhan....
jika ingin dijadikan sebagai destinasi wisata,.maka aspek yang ada :
1. menyaksikan kesenian tradisional, 2. edukasi nilai-nilai yang diperpegangi orang makassar, 3. edukasi, menyaksikan langsung pembuatan anyaman daun pandang menjadi ketupat, 4.berfoto-foto di lokasi kebun/hutan pandang, 5 kunjungan makam keramat tuk memperoleh kesembuhan dari Batarayya (Tuhan) . from : yahya syamsuddin.

Daeng Aca, Pelestari Tari Pepe Pepeka ri Makka : "Saya Tidak Ingin Punah........."

Mimpinya hanya satu. Kelak akan ada pelanjutnya, melestarikan Tari Pepe Pepeka ri Makka.
Laporan: Amiruddin, Makassar
BAKATNYA memang sudah terlihat. Kelas II Sekolah Rakyat (SR), Daeng Aca yang bernama lengkap Muhammad Arsyad Kulle sudah mulai belajar main biola. Ia kadang tertidur di paha bapaknya, Abbasa Daeng Tarru yang menggesek biola dan mengajarinya.
Daeng Aca kini di usia senja. Lahir di Paropo, 9 Mei 1947, usianya kini 64 tahun. Tapi semangatnya untuk terus melestarikan Pepe Pepeka ri Makka terus terjaga. Ia tak ingin mengecewakan harapan orang tuanya yang menginginkan dia menjaga tarian ini.
"Bapak ketika itu sudah tua. Matanya juga sudah kalah. Tak bisa lagi melihat dengan baik saat malam apalagi belum ada listrik. Karena tidak ada mobil, kadang ia tanpa sendal, melewati sawah yang tanahnya retak kekeringan. Berjalan jauh. Kadang dari kampung Paropo, berjalan ke Kassi-kassi, Paccinoang hingga Barombong untuk pementasan," kisah Daeng Aca.    
Itu alasan bapaknya mengajaknya mulai belajar memainkan biola. Setiap pulang dari menjual ikan, Daeng Aca diajar bermain biola. "Bapak bilang saya punya bakat. Katanya dia sudah tua dan ingin ada yang meneruskan kesenian ini. Apalagi saat itu hanya bapak yang tahu main biola. Sementara biola ini patokan untuk tarian Pepe Pepeka ri Makka. Kalau biola ada berarti jadi semuanya. Kita sudah bisa menerima undangan main kalau sudah ada biola," tuturnya.
Dalam proses panjang itu, Daeng Aca akhirnya mahir bermain biola dan benar-benar bisa menggantikan peran bapaknya. Ia menjadi satu-satunya pemain remaja dalam grup Tarian Pepe Pepeka ri Makka. Tahun 60-an, Pepe Pepeka ri Makka menjadi pementasan favorit. Daeng Aca bersama orang-orang tua di Paropo yang dulunya masih wilayah administratif Gowa, laris manis.
"Kita biasa pakai bendi saat berangkat dan pulangnya jalan kaki. Kadang juga naik truk. Kalau acaranya di Somba Opu, kita mulai jalan pukul 16.00 dan pulang saat subuh. Alat dimasukkan di peti," katanya.
Pada masa itu, Daeng Aca sudah mulai main bersama Dg Gudang, Dg Hadong, Nya'la Dg Parinra, Dg Baga, Dg Moha, Dg Madong, Dg Rajja, Dg lemang, dan beberapa orang lagi yang seangkatan bapaknya. Juga ada pemain teater seperti Dg Sudding, serta Dg Dade.
"Saya pelanjut bapak. Belakangan saya sebagai ketua grup Sanggar Seni Tradisional Ilologading Paropo," katanya di kediamannya di Paropo, Sabtu, 23 April.
Sebagai pelanjut, Pria tamatan SMP ini paham betul dengan sejarah tarian tradisional, Pepe Pepeka ri Makka. Menurutnya, tari ini jenis tari permainan atau hiburan rakyat yang lazim dipertunjukkan pada upacara atau pesta rakyat. Termasuk perkawinan, sunatan dan oleh pemuda-pemuda dijadikan hiburan pada malam bulan purnama.
"Menurut sejarah, tari ini hanya sekadar suatu rangkaian dan pelengkap acara Appepe-pepe dalam menyambut lebaran. Appepe-pepe ini acara tradisional setiap menghadapi lebaran yaitu menyalakan api seperti halnya lampion di pekarangan rumah. Ini yang menginspirasi teciptanya tari Pepe Pepeka ri Makka. Lagu pengiring tarinya juga Pepe Pepeka ri Makka yang berarti permainan api di Mekah," beber ayah lima anak ini.
Tari ini, kata Daeng Aca,  tumbuh dan berkembang di Kampung Paropo, Kecamatan Panakkukang, Makassar. Tari ini mulai ditarikan setelah masuknya ajaran Islam pada kerajaan Gowa di tahun 1605. Dalam tari ini, penari berlenggak lenggok di antara musik yang bertalu-talu. Penyanyi mendendangkan lagu-lagu pujian dan doa kepada Tuhan sementara penari berlenggak-lenggok dan beratraksi dengan api. Mereka menyulut api ke tubuh, tetapi tak terbakar.
Kini sudah 48 tahun Daeng Aca berkesenian. Sebagai pelatih, dan pemain musik, sejauh ini ia mampu memenuhi harapan orang tuanya. Tarian ini tidak punah.
Di sanggarnya, bukan hanya Pepe Pepeka ri Makka yang dikembangkan tapi juga ada Gandrang Pabballe, Gandrang Bulo Dewasa dan Gandrang Bulo Anak-anak, juga ada Teater Kondo Buleng.
Dalam proses ini, banyak prestasi yang diraih Daeng Aca. Ia pernah main di Korea Selatan. Katanya di acara Usaha Dagang Se-Dunia. Tapi ia lupa tahun berapa. Ia juga lima kali membawa grupnya ke Malaysia. Termasuk 2001 dan 2002.
"Pernah ada pertukaran kesenian pada acara kawinan orang Malaysia dengan warga Maros. Hanya saja, sama sekali tidak ada foto-foto yang kami punya. Foto semua ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata," kata mantan bujang sekolah yang diangkat menjadi PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata karena kemampuannya di bidang seni ini.
Untuk level nasional, hampir semua daerah telah didatangi Daeng Aca bersama grupnya. Termasuk di 2010 lalu mereka tampil di Yogyakarta dan Riau.
Sayangnya, tak cukup perhatian pemerintah ke Daeng Aca dan anak didiknya. Untuk biola saja, itu masih peninggalan tahun 1982. Sarung dan pakaian juga mereka beli sendiri.
Tapi pensiunan PNS tahun 2006 ini tak patah semangat. Ia terus mendorong anggota sanggarnya untuk belajar dan melestarikan tarian Pepe Pepeka ri Makka. Ia kini punya 50-an anggota. "Banyak generasi saya," katanya.
Meski demikian, Daeng Aca tetap saja punya kekhawatiran akan masa depan tarian ini. "Baru-baru ini saya sakit. Saya sempat khawatir, bagaimana kalau saya meninggal, siapa yang melanjutkan. Saya takut anak-anak akan seperti ayam tanpa induk. Saya berpikir, siapa yang memimpin mereka," katanya.
Makanya, sama seperti bapaknya, Daeng Aca juga menurunkan ilmunya ke anak dan cucunya. Ia bahkan mengirim anak bungsunya, Muhammad Subhan ke Solo untuk kuliah. Ia juga mulai mengikutkan cucunya pada beberapa pementasan, termasuk saat jamuan Pertemuan Saudagar Bugis Makassar di Anjungan Pantai Losari beberapa bulan lalu.
"Saya berpikir  anak dan cucu akan menjadi pelanjut saya. Kalau seniman lain mungkin anaknya di PLN atau kantor lain, saya betul-betul ingin mereka ikut bapaknya.
Agar tetap lestari, saya ingin ada yang melanjutkan karya ini. Harapan saya sederhana, saya ingin Pepe Pepeka ri Makka tidak punah. Itu saja. Ini harus menjadi ciri khas Makassar dan Sulsel,"






Jadilah Kamu

Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan...

Minggu, 04 Mei 2014

yang nyata siapa ?? aku atau televisi? apakah tv punya Tuhan ?? pertunjukan sesungguhnya adalah mengetahui siapa diriku dan darimana aku ??

Kamis, 28 Februari 2013

Apakah anda tahu dialektika ???

Pertama belajar ilmu filsafat pasti otak ini bertanya-tanya apa itu Dialektika?. Saya mencoba memodifikasi dan mengambil dari beberapa sumber dan meleburnya sebagai berikut:

Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, atau logika pemahaman umum dari para aktivis dalam gerakan. Kita semua tahu bahwa benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah. Akan tetapi, ada suatu bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut ‘logika formal’, yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali perlu untuk mulai menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode ini.

Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai ‘hukum identitas’, yang menyatakan bahwa ‘A’ sama dengan ‘A’ – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika ‘A’ sama dengan ‘A’, maka ‘A’ tidak mungkin sama dengan ‘B’ atau ‘C’.

Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum; dan pada kenyataannya, logika formal telah menjadi alat yang sangat penting, sarana yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri, yang membentuk masyarakat sekarang ini. Perkembangan matematika dan aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal. Anda tidak bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal yang sama, metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu mekanika, kimia, biologi, dll.

Sebagai contoh, pada abad ke-18 ahli biologi Skandinavia, Linnaeus, mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk semua tumbuhan dan hewan yang dikenal. Linnaeus membagi semua benda hidup ke dalam kelas-kelas, ordO-ordo, dan keluarga; misalnya dalam ordo primata, keluarga hominid, genus homo, dan mewakili species homo sapiens.

Sistem klasifikasi merupakan sebuah langkah maju besar dalam biologi. Untuk pertama kalinya, sistem ini memungkinkan dilakukannya studi mengenai tumbuhan dan hewan yang betul-betul sistematis, untuk membandingkan dan membedakan species hewan dan tumbuhan. Tetapi sistem ini didasarkan pada logika formal. Sistem ini didasarkan pada pernyataan bahwa homo sapiens sama dengan homo sapiens; bahwa musca domestica (lalat) sama dengan musca domestica; bahwa cacing tanah sama dengan cacing tanah; dst. Dengan kata lain, sistem klasifikasi ini adalah sistem yang kaku dan pasti. Menurut sistem ini, tidak mungkin suatu species sama dengan species lain. Atau, jika bisa sama, berarti sistem klasifikasi ini akan gugur.

Hal yang sama diterapkan dalam bidang kimia, dimana teori atom Dalton merupakan langkah maju yang sangat besar. Teori Dalton didasarkan pada ide bahwa materi tersusun atas atom-atom, dan bahwa masing-masing tipe atom sama sekali khusus dan khas untuk tipe itu sendiri – bahwa bentuk dan berat suatu atom adalah khusus untuk unsur tertentu itu, dan tidak sama dengan yang lain.

Setelah Dalton, juga ada sebuah sistem klasifikasi unsur-unsur yang hampir sama kaku-nya dengan sistem Dalton, yang kembali didasarkan pada logika formal yang kaku, yang mengatakan bahwa sebuah atom hidrogen adalah sebuah atom hidrogen; sebuah atom karbon adalah sebuah atom karbon; dsb. Dan jika sebuah atom bisa menjadi atom lainnya, maka keseluruhan sistem klasifikasi ini, yang telah membentuk basis bagi ilmu kimia modern, akan gugur.

Kini penting bagi kita untuk melihat bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam metode logika formal. Logika formal adalah metode sehari-hari yang sangat bermanfaat, dan memungkinkan kita untuk mempunyai perhitungan-perhitungan dalam mengidentifikasi benda-benda. Misalnya, sistem klasifikasi Linnaean masih berguna bagi ahli-ahli biologi; tetapi, terutama sejak munculnya karya Charles Darwin, kita juga jadi bisa melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem klasifikasi itu. Sebagai contoh, Darwin menunjukkan bahwa dalam sistem Linnaean, tipe-tipe tumbuhan diberi nama-nama tersendiri sebagai species khusus, namun sebenarnya tipe-tipe tumbuhan itu sangat mirip satu sama lain.

Jadi, bahkan di masa Darwin, sudah mungkin untuk melihat sistem klasifikasi Linnaean, dan mengatakan, ‘Oh, ternyata ada yang salah’. Dan tentu saja, karya Darwin sendiri memberikan basis yang sistematis untuk teori evolusi, yang untuk pertama kalinya mengatakan adalah mungkin bagi satu species untuk berubah (bertransformasi) menjadi species lainnya. Dan ini menunjukkan adanya lobang besar dalam sistem Linnaean. Sebelum Darwin, orang menganggap bahwa jumlah species di planet ini tepat sama dengan jumlah species yang diciptakan oleh Tuhan dalam masa enam hari proses penciptaan – kecuali, tentu saja, species-species yang musnah akibat Banjir Besar – dan bahwa species-species itu tetap tidak berubah selama berjuta-juta tahun. Namun Darwin menghasilkan ide perubahan species, sehingga tidak bisa dihindari lagi, metode klasifikasi juga harus diubah.

Apa yang berlaku di bidang biologi juga berlaku di bidang kimia. Di akhir abad ke-19, para pakar kimia menjadi sadar bahwa adalah mungkin bagi satu unsur atom untuk berubah menjadi unsur lainnya. Dengan kata lain, atom tidaklah mutlak bersifat khusus dan tertentu saja pada unsurnya sendiri. Kini kita mengetahui bahwa banyak atom, banyak unsur kimia yang tidak stabil. Sebagai contoh, uranium dan atom-atom radioaktif lainnya akan pecah dalam proses perjalanan waktu, dan menghasilkan atom-atom yang sama sekali berbeda, dan dengan kandungan serta berat kimia yang berbeda pula.

Jadi, kita bisa melihat bahwa metode logika formal mulai gugur dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, metode dialektika-lah yang menyebabkan bisa ditariknya kesimpulan-kesimpulan dari penemuan-penemuan faktual ini, dan menunjukkan bahwa tidak ada kategori yang mutlak atau pasti, baik di alam ataupun di masyarakat. Sementara seorang yang mengatakan logika formal mengatakan ‘A’ sama dengan ‘A’, maka seorang yang dialektis akan mengatakan bahwa ‘A’ belum tentu sama dengan ‘A’. Atau ambillah contoh praktis yang digunakan Trotsky dalam tulisan-tulisannya tentang hal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu tidak tepat sama.

Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika.

Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.

Kuantitas menjadi Kualitas
Marilah kita mulai dengan hukum transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses perubahan – gerak di alam semesta – tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak setara. Periode-periode perubahan yang relatif gradual atau perubahan kecil selalu diselingi dengan periode-periode perubahan yang sangat cepat – perubahan semacam ini tidak bisa diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas.

Sebagai contoh, kembali kita ambil dari ilmu alam, coba kita bayangkan saat kita memanaskan air. Anda hanya bisa betul-betul mengukur (”melakukan kuantifikasi”) dalam hal derajat temperatur/suhu, yaitu perubahan ketika Anda menambahkan panas terhadap air itu. Katakanlah, dari 10 derajat Celcius (ini adalah temperatur normal air keran) menjadi sekitar 98 derajat Celcius, maka perubahan itu akan tetap kuantitatif, yaitu air akan tetap berupa air, walaupun menjadi lebih panas. Tetapi kemudian akan sampai suatu tahap dimana perubahan itu menjadi kualitatif, dan air pun berubah menjadi uap. Anda tidak bisa lagi menjelaskan perubahan itu hanya secara kuantitatif ketika air itu dipanaskan dari 98 derajat menjadi 102 derajat Celcius. Kita harus mengatakan bahwa suatu perubahan kualitatif (air menjadi uap) telah terjadi akibat akumulasi perubahan kuantitatif (menambahkan panas terus-menerus).

Dan inilah yang dimaksud oleh Marx dan Engels ketika mereka menyebutkan transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hal yang sama dapat dilihat pada perkembangan species. Jika kita melihat ke sekeliling, kita akan mendapati tingkat varitas dari homo sapiens. Varitas itu dapat diukur secara kuantitatif, misalnya tinggi badan, berat badan, warna kulit, panjang hidung, dll. Namun jika perubahan-perubahan evolusioner bergerak maju sampai suatu tahap, dibawah pengaruh perubahan-perubahan lingkungan, maka perubahan-perubahan kuantitatif akan berakumulasi menjadi suatu perubahan kualitatif. Dengan kata lain, Anda tidak akan lagi bisa menandai perubahan pada suatu species hewan atau tumbuhan itu hanya dengan detail-detail (rincian) kuantitatif. Species tersebut akan jadi berbeda secara kualitatif. Sebagai contoh, kita, sebagai suatu species, secara kualitatif berbeda dengan simpanse atau gorila, dan mereka ini pun secara kualitatif berbeda dengan species mamalia lainnya. Dan perbedaan-perbedaan kualitatif itu, lompatan-lompatan evolusioner itu, terjadi akibat perubahan-perubahan kuantitatif di masa lalu.

Ide Marxisme ialah bahwa akan selalu terdapat periode-periode perubahan gradual yang diselingi dengan periode-periode perubahan tiba-tiba. Dalam kehamilan, misalnya, ada suatu periode perkembangan yang gradual, dan kemudian suatu periode perkembangan yang sangat mendadak di penghujung kehamilan itu. Sangat sering kaum Marxis menggunakan analogi (perbandingan) kehamilan untuk menggambarkan perkembangan perang dan revolusi. Hal tersebut menunjukkan lompatan-lompatan kualitatif dalam perkembangan sosial; tetapi perubahan itu muncul sebagai akibat akumulasi kontradiksi-kontradiksi kuantitatif dalam masyarakat.

Negasi dari Negasi
Hukum kedua dari dialektika adalah ‘hukum negasi dari negasi’, dan sekali lagi, ini kedengaran lebih rumit daripada yang sebenarnya. ‘Negasi’ dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain. Sebagai contoh, perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan menunjukkan negasi (gugurnya) masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Dan di masa yang akan datang, dengan adanya perkembangan komunisme, kita akan mendapati suatu masyarakat tanpa-kelas yang lain, yang ini akan berarti negasi terhadap semua masyarakat kelas yang ada sekarang.

Jadi, hukum negasi dari negasi secara sederhana menyatakan bahwa seiring munculnya suatu sistem (menjadi ada/eksis), maka ia akan memaksa sistem lainnya untuk sirna (mati). Tetapi, ini bukan berarti bahwa sistem yang kedua ini bersifat permanen atau tak bisa berubah. Sistem yang kedua itu sendiri, menjadi ter-negasi-kan akibat perkembangan-perkembangan lebih lanjut dan proses-proses perubahandalam masyarakat. Karena masyarakat kelas telah menjadi negasi dari masyarakat tanpa-kelas, maka masyarakat komunis akan menjadi negasi dari masyarakat kelas – negasi dari negasi.

Konsep lainnya dari dialektika adalah hukum ‘interpenetration of opposites’ (saling-menerobos dari hal-hal yang bertentangan). Hukum ini secara cukup sederhana menyatakan bahwa proses-proses perubahan terjadi karena adanya kontradiksi-kontradiksi – karena konflik-konflik yang terjadi di antara elemen-elemen yang berbeda, yang melekat dalam semua proses alam maupun sosial.

Barangkali contoh paling tepat dari ‘interpenetration of opposites’ dalam ilmu pengetahuan alam adalah ‘teori quantum’. Teori ini didasarkan atas konsep bahwa energi memiliki karakter ganda – yaitu untuk beberapa tujuan, menurut beberapa eksperimen, energi eksis dalam bentuk gelombang, misalnya gelombang elektro magnetik. Tetapi untuk tujuan-tujuan lain, energi mewujudkan diri sebagai partikel. Dengan kata lain, sama sekali diterima di kalangan ilmuwan bahwa materidan energi sebetulnya bisa eksis dalam dua bentuk yang berbeda pada satu waktu yang sama – di satu sisi, sebagai sejenis gelombang yang tak kelihatan, dan di sisi lain, sebagai sebuah partikel dengan ‘quantum’ (jumlah) energi tertentu yang ada di dalamnya.

Karena itu, basis dari teori quantum dalam ilmu fisika modern adalah kontradiksi. Namun ada banyak lagi kontradiksi yang dikenal dalam ilmu pengetahuan. Energi elektromagnetik, misalnya, menjadi bergerak akibat dorongan positif dan negatif atas satu sama lain. Magnetisme tergantung pada eksistensi kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak bisa eksis secara terpisah (sendiri-sendiri). Mereka eksis dan beroperasi justru akibat kekuatan-kekuatan yang bertentangan, yang ada dalam sistem yang satu dan sama.

Hal yang serupa, setiap masyarakat saat ini terdiri atas elemen-elemen berbeda yang bertentangan, yang bergabung bersama dalam satu sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di negeri manapun untuk tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis – bertentangan dengan metode logika formal – melatih kita untuk mengidentifikasi (mengenali) kontradiksi-kontradiksi ini, dan dengan demikian berarti mempelajari secara mendalam perubahan yang sedang terjadi.

Kaum Marxis tidak merasa malu untuk mengatakan bahwa terdapat elemen-elemen yang bertentangan dalam setiap proses sosial. Sebaliknya, justru dengan mengenali dan memahami kepentingan-kepentingan yang bertentangan, yang terdapat dalam proses yang sama itu, maka kita akan mampu untuk mengarahkan perubahan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga berusaha untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan yang perlu dan mungkin dalam situasi seperti itu untuk dirumuskan dari sudut pandang kelas-buruh.

Pada saat yang sama, Marxisme tidaklah mengabaikan logika formal sama sekali. Akan tetapi, adalah penting untuk melihat – dari sudut pandang pemahaman terhadap perkembangan-perkembangan sosial – bahwa logika formal haruslah ditempatkan pada posisi kedua.

Kita semua menggunakan logika formal untuk keperluan sehari-hari. Logika formal memberikan perhitungan-perhitungan yang berguna bagi kita untuk komunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Kita tidak akan bisa menjalani kehidupan normal tanpa berbasa-basi menggunakan logika formal, tanpa menggunakan perhitungan bahwa satu sama dengan satu. Akan tetapi, di sisi lain, kita harus melihat keterbatasan-keterbatasan logika formal – keterbatasan-keterbatasan yang menjadi jelas dalam ilmu pengetahuan jika kita mempelajari proses-proses secara mendalam dan mendetail, dan juga ketika kita mempelajari proses-proses sosial dan politik dengan lebih teliti.

Dialektika sangat jarang diterima oleh para ilmuwan. Beberapa ilmuwan dialektis, tetapi mayoritas, bahkan sampai saat ini, selalu mencampur-adukkan pendekatan materialis dengan segala macam ide-ide formal dan idealistik. Kalau seperti itu yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan alam, maka di bidang ilmu pengetahuan sosial adalah jauh lebih parah. Penyebabnya cukup jelas. Jika Anda mencoba meneliti masyarakat dan proses-proses sosial dari sudut pandang ilmiah, maka Anda tidak bisa menghindari untuk sampai pada kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis, dan kebutuhan untuk transformasi sosial masyarakat.

Namun perguruan-perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusatstudi dan penelitian, dibawah sistem kapitalis ini jauh dari independent terhadap kelas yang berkuasa dan negara. Itulah sebabnya mengapa ilmu pengetahuan alam masih memiliki suatu metode ilmiah yang cenderung kepada materialisme dialektis; tetapi ketikasampai pada ilmu pengetahuan sosial, maka Anda akan mendapati di sekolah tinggi dan politeknik, serta universitas-universitas, formalisme dan idealisme yang paling parah. Hal ini bukannya tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu dari para profesor dan akademisi yang digaji tinggi. Adalah jelas dan tak bisa dihindari bahwa posisi istimewa mereka di mata masyarakat akan memiliki beberapa cerminan dan pengaruh pada apa yang harus mereka ajarkan. Pandangan dan prasangka-prasangka subyektif mereka sendiri akan disertakan dalam ‘pengetahuan’ yang mereka sampaikan kepada mahasiswa mereka, dan begitu seterusnya sampai ke tingkat sekolah-sekolah.

Sejarawan borjuis, khususnya, adalah di antara ilmuwan-ilmuwan sosial yang paling berpandangan sempit. Berapa banyak kita telah melihat contoh-contoh sejarawan borjuis yang membayangkan bahwa sejarah berakhir kemarin! Di sini, di Inggris, mereka semua nampaknya mengakui masa-masa mengerikan sewaktu imperialisme Inggris abad ke-17, 18, sampai abad ke-19; bahwa Inggris terlibat dalam lalu lintas perdagangan budak; bahwa Inggris juga bertanggung jawab terhadap penaklukan rakyat di tanah-tanah jajahan yang paling berdarah; bahwa Inggris juga harus bertanggung jawab terhadap eksploitasi paling buruk terhadap buruh Inggris, termasuk wanita dan anak-anak di tambang-tambang batu bara, di pabrik-pabrik pemintalan kapas, dst.

Mereka akan menerima kenyataan adanya kekejaman dan ketidakadilan ini, tetapi hanya sampai kemarin. Namun jika kita bicara tentang masa sekarang, tentu saja, mereka akan menganggap bahwa imperialisme Inggris tiba-tiba jadi demokratis dan progressif.

dan hal tersebut sepenuhnya cuma satu sisi saja, satu cara pandang yang sepenuhnya berat sebelah dalam melihat sejarah, yang secara diametris berlawanan dengan metode Marxisme. Marx dan Engels terbiasa untuk memandang proses-proses sosial dari sudut pandang dialektis yang sama sebagaimana mereka memandang alam - yaitu memandangnya dari sudut pandang proses-proses itu sebenarnya terjadi.
dalam berbagai diskusi dan debat kita sehari-hari di dalam gerakan buruh, kita akan seringkali menjumpai orang-orang yanf formalis. Bahkan banyak orang kiri akan memandang berbagai hal dalam cara yang kaku dan formal, tanpa pemahaman akan arah yand di dalamnya hal-hal tersebut tadi bergerak.

Sayap kanan di dalam gerakan buruh, dan juga beberapa orang di sayap kiri, percaya bahwa teori Marxis adalah dogma, yakni, mereka percaya bahwa “teori” itu selayaknya beban seberat 600 pound (1 pound = 2,2 kg) di atas pundak seorang aktivis, dan semakin cepat si aktivis itu membuang beban tersebut, maka ia akan bisa makin aktiv dan efektif jadinya.

namun itu adalah konsepsi yang sepenuhnya keliru mengenai keseluruhan sifat teori Marxis. pada kenyataan yang sesungguhnya, Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Tidak ada satupu hal yang ajeg, dan tiada pula sesuatupun yang tetap tak berubah. adalah kaum formalis yang melihat masyarakat sebagai foto yang tak bergerak, mereka dikuasai oleh situasi-situasi yang mereka hadapi sebab mereka tidak mampu melihat bagaimana dan mengapa berbagai hal akan berubah. pendekatan macam beginilah yang dapat dengan mudah menggiring orang pada penerimaan yang dogmatis dari adanya berbagai hal sebagaimanan hal itu ada ataupun telah ada sebagai benda yang ajeg, tanpa pemahaman tentang ketidakmungkinannya perubahan untuk dielakkan.

Oleh karena itu teori Marxis adalah sepenuhnya merupakan sebuah alat esensial bagi aktivitas apapun di dalam gerakan buruh. Kita mesti secara sadar awas terhadap keuatan-kekuatan kontradiktif dalam kerja-kerja kita di dalam perjuangan kelas, agar kita dapat mengorientasikan diri kita ke dalam cara yang di dalamnya berbagai hal tengah berkembang.

Tentu saja, tidaklah senantiasa mudah untuk membebaskan diri kita dari kerangka pikir yang masih mendominasi di dalam masyarakat kapitalis dan menyerap metode Marxis. sebagaimana dikatakan Karl Marx, tidak ada jalan mulus untuk menuju ilmu pengetahuan. Kadang kala kita harus menempuh jalan berliku yang keras dalam usaha menggapai ide-ide politik yang baru.

Namun tetaplah diskusi dan mempelajari teori Marxis adalah sebuah bagian yang sepenuhnya esensial bagi setiap aktivis. Hanyalah teori yang dapat melengkapi kawan-kawan dengan kompas dan peta di tengah-tengah segala rupa kompleksitas perjuangan. sungguh bagus untuk menjadi seorang aktivis, namun tanpa pemahaman yang sadar mengenai proses-proses di mana kita terlibat di dalamnya, kita tidak akan lebih efektif daripada seorang penjelajah tanpa peta dan kompas.

Dan jika kita coba untuk menjelajah tanpa bantuan sains, kita dapat menjadi seenergik yang kita mau tetapi cepat atau lambat akan terjerembab masuk jurang dalam atau pasir hisap dan lalu hilang begitu saja, sebagaimana hal itu terjadi pada banyak aktivis selama tahun-tahun yang sudah berlalu tanpa keberhasilan.
Ide memiliki kompas dan peta adalah untuk memastikan posisi kita setepatnya. kita dapat menerka di mana kita berada pada satu saat tertentu, ke mana kita akan melangkah, dan di mana kita akan berada. Dan itulah alasan fundamental mengapa kita perlu menggenggam teori Marxis. sebab ia membekali kita dengan sebuah panduan yang sama sekali tak ternilai harganya dalam menuntun aksi dan tindakan sejauh mana perhatian kita adalah untuk gerakan kelas buruh.