Kamis, 06 November 2014

PAROPO : Ilustrasi kampung budaya

Ilustrasi kampung budaya
Paropo Makassar Diusulkan Jadi Kampung Budaya
"Ditunjuknya Kelurahan Paropo sebagai kampung budaya tidak sebatas rekayasa destinasi pariwisata. Melainkan nilai budaya warga daerah itu harus terbentuk sesuai adat istiadat masyarakatnya sendiri,"

Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang, Makassar,Sulawesi Selatan, diusulkan ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi kampung budaya guna mendukung program pengembangan 900 desa dan kampung wisata 2012 mendatang.

"Ditunjuknya Kelurahan Paropo sebagai kampung budaya tidak sebatas rekayasa destinasi pariwisata. Melainkan nilai budaya warga daerah itu harus terbentuk sesuai adat istiadat masyarakatnya sendiri," kata Akademisi Universitas Negeri Makassar (UNM) Ahyar Anwar di Makassar, Kamis (3/11).

"Jangan sampai masyarakat membuat atraksi budaya hanya untuk kepentingan wisatawan saja, sehingga bertanya tentang budaya daerah itu, warganya sendiri tidak tahu," lanjutnya.

Menurut dia, budaya yang bersifat alami lebih memiliki nilai ketimbang terbentuk dari sebuah rekayasa untuk menarik kunjungan wisatawan.

Meski begitu, Ahyar mengakui, untuk membentuk budaya secara alami memakan proses cukup lama. Namun, tambahnya, nilai budaya alami jauh lebih menguntungkan. Apalagi, masyarakat juga bisa menjaga dan melestarikan budaya turun temurunnya.

Hal senada dikatakan Akademisi Akpar Makassar, Dr. Faried Said. Menurutnya, budaya yang terbentuk dari lingkungan masyarakat memiliki nilai jual besar bagi wisatawan.

"Ini sebuah produk yang cukup diminati para wisatawan asing," ucap dia.

Hanya saja, dia mengingatkan agar kampung budaya bisa membangun sebuah ikon yang betul-betul menarik. Sehingga kalangan industri bisa menjual objek itu sebagai paket wisata yang menarik.

Warga Paropo Lestarikan Budaya Tari Api.

Metrotvnews.com, Makassar: Sekelompok orang memainkan alat musik tradisional di Paropo, Makassar, Sulawesi Selatan. Sedangkan sekelompok lain mengayun-ayunkan obor yang menyala di tubuh mereka. Uniknya, tubuh dan pakaian orang-orang tersebut tak terbakar.

Itulah pertunjukan tari Pepe' Ka Ri Makka khas warga kampung Paroppo. Hentakan gendang, rebana, gong, yang berpadu dengan gesekan biola membuat pertunjukan kian meriah. Senandung lagu pun menyemarakkan pertunjukan tersebut.

"Itu tari suci. Tak ada magic," kata Daeng Aca'
, pemimpin kelompok seni tradisional Ilologading yang mempertunjukkan kesenian tersebut kepada Metro TV.

Ia menuturkan pepe' ka ri makka berarti api dari tanah suci Mekah. Saat kerajaan Gowa masih berkuasa, obor merupakan pelengkap menyambut hari lebaran. Tapi kini, obor menjadi sebuah pertunjukan dalam pesta rakyat, acara pernikahan, sunatan, dan hiburan di malam bulan purnama.

Tak semua orang, katanya, bisa melakukan atraksi tersebut. Bila berdosa, si penari akan merasa panas saat menyentuhkan api di tubuhnya. Bajunya pun akan terbakar. Di Paropo, hanya tiga sanggar seni yang kerap mempertunjukkan kesenian tersebut.

Daeng Acca mengaku pernah melakukan pertunjukan serupa di Malaysia dan Korea Selatan. Ia pun merekrut anak-anak muda di kampungnya untuk mewariskan kebudayaan tersebut. Ia berharap pemerintah pun turut andil agar kesenian tradisional itu tak punah.(RRN)


Paropo

Potensi Makassar ada di KAMPUNG PAROPO penduduk ASLI MAKASSAR, di sana ada : 
1. kesenian tradisional : Tari pepe'-pepeka ri Makkah, tari si'ru, tari Ganrangbulo, teater tradisional Kondo Buleng 
2. Hutan Pandang, dan penghasil ketupat terbesar setiap harinya di Kota Makassar yang menyuplai anangang Katupa' ke warung-warung Coto di Kota MAkassar. 
3. Suku Asli Makassar, dengan bahasa Percakapan Asli Makassar, masih menggunakan bahasa IBU.
4. Pesan-pesan Orang Dulu masih dilestarikan dalam bentuk syair-syair dan nyanyian...sebagai kenangan akan pribadi orang Makassar asli.
5. tradisi-tradisi masih ada yang dilestarikan ,walau sudah banyak yang ditinggalkan , di antara tradisi orang Mangkasara' (Makassar) : Songka Bala'...tradisi attoweng (towengi bambo)
6.ada Baruga Pertemuan Warga..tempat bermusyawarah...
7.warga Paropo yang masih SERUMPUN antara satu dan yang lainnya, kalau bukan saudara, sepupu, atau pindu. purina
8. tradisi menyapu halaman Rumah setiap hari masih dilaksanakan oleh ibu-ibu. termasuk menyapu jalanan aspal depan rumahnya.
9. kekompakan/kerumunan dalam hal tertentu masihi ada.
10.terdapat MAKAM To BOKKA' kuburan keramat yang sering dikunjungi untuk mencari keberkahan kesembuhan....
jika ingin dijadikan sebagai destinasi wisata,.maka aspek yang ada :
1. menyaksikan kesenian tradisional, 2. edukasi nilai-nilai yang diperpegangi orang makassar, 3. edukasi, menyaksikan langsung pembuatan anyaman daun pandang menjadi ketupat, 4.berfoto-foto di lokasi kebun/hutan pandang, 5 kunjungan makam keramat tuk memperoleh kesembuhan dari Batarayya (Tuhan) . from : yahya syamsuddin.

Daeng Aca, Pelestari Tari Pepe Pepeka ri Makka : "Saya Tidak Ingin Punah........."

Mimpinya hanya satu. Kelak akan ada pelanjutnya, melestarikan Tari Pepe Pepeka ri Makka.
Laporan: Amiruddin, Makassar
BAKATNYA memang sudah terlihat. Kelas II Sekolah Rakyat (SR), Daeng Aca yang bernama lengkap Muhammad Arsyad Kulle sudah mulai belajar main biola. Ia kadang tertidur di paha bapaknya, Abbasa Daeng Tarru yang menggesek biola dan mengajarinya.
Daeng Aca kini di usia senja. Lahir di Paropo, 9 Mei 1947, usianya kini 64 tahun. Tapi semangatnya untuk terus melestarikan Pepe Pepeka ri Makka terus terjaga. Ia tak ingin mengecewakan harapan orang tuanya yang menginginkan dia menjaga tarian ini.
"Bapak ketika itu sudah tua. Matanya juga sudah kalah. Tak bisa lagi melihat dengan baik saat malam apalagi belum ada listrik. Karena tidak ada mobil, kadang ia tanpa sendal, melewati sawah yang tanahnya retak kekeringan. Berjalan jauh. Kadang dari kampung Paropo, berjalan ke Kassi-kassi, Paccinoang hingga Barombong untuk pementasan," kisah Daeng Aca.    
Itu alasan bapaknya mengajaknya mulai belajar memainkan biola. Setiap pulang dari menjual ikan, Daeng Aca diajar bermain biola. "Bapak bilang saya punya bakat. Katanya dia sudah tua dan ingin ada yang meneruskan kesenian ini. Apalagi saat itu hanya bapak yang tahu main biola. Sementara biola ini patokan untuk tarian Pepe Pepeka ri Makka. Kalau biola ada berarti jadi semuanya. Kita sudah bisa menerima undangan main kalau sudah ada biola," tuturnya.
Dalam proses panjang itu, Daeng Aca akhirnya mahir bermain biola dan benar-benar bisa menggantikan peran bapaknya. Ia menjadi satu-satunya pemain remaja dalam grup Tarian Pepe Pepeka ri Makka. Tahun 60-an, Pepe Pepeka ri Makka menjadi pementasan favorit. Daeng Aca bersama orang-orang tua di Paropo yang dulunya masih wilayah administratif Gowa, laris manis.
"Kita biasa pakai bendi saat berangkat dan pulangnya jalan kaki. Kadang juga naik truk. Kalau acaranya di Somba Opu, kita mulai jalan pukul 16.00 dan pulang saat subuh. Alat dimasukkan di peti," katanya.
Pada masa itu, Daeng Aca sudah mulai main bersama Dg Gudang, Dg Hadong, Nya'la Dg Parinra, Dg Baga, Dg Moha, Dg Madong, Dg Rajja, Dg lemang, dan beberapa orang lagi yang seangkatan bapaknya. Juga ada pemain teater seperti Dg Sudding, serta Dg Dade.
"Saya pelanjut bapak. Belakangan saya sebagai ketua grup Sanggar Seni Tradisional Ilologading Paropo," katanya di kediamannya di Paropo, Sabtu, 23 April.
Sebagai pelanjut, Pria tamatan SMP ini paham betul dengan sejarah tarian tradisional, Pepe Pepeka ri Makka. Menurutnya, tari ini jenis tari permainan atau hiburan rakyat yang lazim dipertunjukkan pada upacara atau pesta rakyat. Termasuk perkawinan, sunatan dan oleh pemuda-pemuda dijadikan hiburan pada malam bulan purnama.
"Menurut sejarah, tari ini hanya sekadar suatu rangkaian dan pelengkap acara Appepe-pepe dalam menyambut lebaran. Appepe-pepe ini acara tradisional setiap menghadapi lebaran yaitu menyalakan api seperti halnya lampion di pekarangan rumah. Ini yang menginspirasi teciptanya tari Pepe Pepeka ri Makka. Lagu pengiring tarinya juga Pepe Pepeka ri Makka yang berarti permainan api di Mekah," beber ayah lima anak ini.
Tari ini, kata Daeng Aca,  tumbuh dan berkembang di Kampung Paropo, Kecamatan Panakkukang, Makassar. Tari ini mulai ditarikan setelah masuknya ajaran Islam pada kerajaan Gowa di tahun 1605. Dalam tari ini, penari berlenggak lenggok di antara musik yang bertalu-talu. Penyanyi mendendangkan lagu-lagu pujian dan doa kepada Tuhan sementara penari berlenggak-lenggok dan beratraksi dengan api. Mereka menyulut api ke tubuh, tetapi tak terbakar.
Kini sudah 48 tahun Daeng Aca berkesenian. Sebagai pelatih, dan pemain musik, sejauh ini ia mampu memenuhi harapan orang tuanya. Tarian ini tidak punah.
Di sanggarnya, bukan hanya Pepe Pepeka ri Makka yang dikembangkan tapi juga ada Gandrang Pabballe, Gandrang Bulo Dewasa dan Gandrang Bulo Anak-anak, juga ada Teater Kondo Buleng.
Dalam proses ini, banyak prestasi yang diraih Daeng Aca. Ia pernah main di Korea Selatan. Katanya di acara Usaha Dagang Se-Dunia. Tapi ia lupa tahun berapa. Ia juga lima kali membawa grupnya ke Malaysia. Termasuk 2001 dan 2002.
"Pernah ada pertukaran kesenian pada acara kawinan orang Malaysia dengan warga Maros. Hanya saja, sama sekali tidak ada foto-foto yang kami punya. Foto semua ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata," kata mantan bujang sekolah yang diangkat menjadi PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata karena kemampuannya di bidang seni ini.
Untuk level nasional, hampir semua daerah telah didatangi Daeng Aca bersama grupnya. Termasuk di 2010 lalu mereka tampil di Yogyakarta dan Riau.
Sayangnya, tak cukup perhatian pemerintah ke Daeng Aca dan anak didiknya. Untuk biola saja, itu masih peninggalan tahun 1982. Sarung dan pakaian juga mereka beli sendiri.
Tapi pensiunan PNS tahun 2006 ini tak patah semangat. Ia terus mendorong anggota sanggarnya untuk belajar dan melestarikan tarian Pepe Pepeka ri Makka. Ia kini punya 50-an anggota. "Banyak generasi saya," katanya.
Meski demikian, Daeng Aca tetap saja punya kekhawatiran akan masa depan tarian ini. "Baru-baru ini saya sakit. Saya sempat khawatir, bagaimana kalau saya meninggal, siapa yang melanjutkan. Saya takut anak-anak akan seperti ayam tanpa induk. Saya berpikir, siapa yang memimpin mereka," katanya.
Makanya, sama seperti bapaknya, Daeng Aca juga menurunkan ilmunya ke anak dan cucunya. Ia bahkan mengirim anak bungsunya, Muhammad Subhan ke Solo untuk kuliah. Ia juga mulai mengikutkan cucunya pada beberapa pementasan, termasuk saat jamuan Pertemuan Saudagar Bugis Makassar di Anjungan Pantai Losari beberapa bulan lalu.
"Saya berpikir  anak dan cucu akan menjadi pelanjut saya. Kalau seniman lain mungkin anaknya di PLN atau kantor lain, saya betul-betul ingin mereka ikut bapaknya.
Agar tetap lestari, saya ingin ada yang melanjutkan karya ini. Harapan saya sederhana, saya ingin Pepe Pepeka ri Makka tidak punah. Itu saja. Ini harus menjadi ciri khas Makassar dan Sulsel,"






Jadilah Kamu

Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan...

Minggu, 04 Mei 2014

yang nyata siapa ?? aku atau televisi? apakah tv punya Tuhan ?? pertunjukan sesungguhnya adalah mengetahui siapa diriku dan darimana aku ??